Senin, 24 September 2012

My Fams :)














Semua berawal dari sebuah perkenalan sederhana
Semua hanya terpaku satu sama lain...
Semua hanya bisa saling memandang dengan perasaan masing-masing.....
Pertama ku mencoba tersenyum....
Pertama ku mencoba tertawa....
Tapi hanya sebuah ilusi kosong,
Aku belum mengenal mereka
Aku masih belum bisa tertawa lepas
Aku masih malu dengan kepolosanku...
Aku hanya sendiri menyepi diantara mereka...
Kini ku temukan mereka...
Bersama, berjalan di dalam sebuah roda kehidupan




Kini ku 
menemukan keluargaku.....
Tak lagi ku sendiri menepi,
Tak lagi ku merugi menemukan sebuah impian baru dan keluarga baru....

Suasana di Taman Melingkar Perpustakaan UI


Pagi-pagi sekali aku terbangun. Entah apa yang membuatku terbangun sepagi ini, seperti ada yang membangunkanku bahkan alarm yang biasa membangunkanku belum juga mengeluarkan bunyi nyaringnya. Kubuka jendela kamarku terlihat masih gelap, bahkan ayam pun masih malu-malu rupanya untuk berkokok. Kuputuskan untuk segera masuk ke kamar mandi, dan segera aku mengguryukan dinginnya air ke seluruh tubuhku.
Aku memutuskan untuk berjalan kaki menuju kampusku. Sendiri aku berjalan menapaki jalanan dengan hiasan daun-daun yang masih berserakan di jalan, meskipun sudah terlihat para penyapu yang mulai membersihkan jalan setapak itu. Sampai aku melewati sebuah jembatan berwarna merah yang menghubungkan antara Fakultas Teknik dan FIB, tak jarang yang menamakan jembatan itu adalah jembatan cinta. Terkejut ketika aku berpapasan dengan seorang pejalan kaki yang tergopoh-gopoh dengan membawa maket berbentuk gedung. Pikirku mungkin dia seorang mahasiswa dari jurusan teknik arsitektur yang harus segera mengumpulkan tugasnya.
Jam di tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 8 pagi, aku memutuskan untuk datang ke kampus pagi ini hanya untuk menemui dosen yang kemarin memintaku untuk membantu mengerjakan pekerjaannya. Kuputuskan duduk di kursi kayu yang terlihat agak tua. Sesekali aku bertanya kepada penjaga apakah dosen yang akan kutemui sudah datang. Tak berapa lama aku memutuskan untuk beranjak ke dalam gedung dan segera duduk di sofa. Terlihat hanya beberapa mahasiswa yang keluar-masuk ke dalam gedung itu, mungkin mereka juga mempunyai tujuan yang sama sepertiku, menemui seorang dosen. Barulah sekitar satu jam menunggu akhirnya dosen yang akan kutemui datang, segera aku menghampirinya.
Pikiranku semakin melayang dengan semua tugas-tugas yang harus kukerjakan, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan menuju sebuah taman di perpustakaan pusat Universitas Indonesia. Kubuka pintu berbahan kaca tebal, tiba-tiba terdengar teriakan yang memanggil namaku, segera kuhampirinya. Kemudian aku duduk di bangku yang terbuat dari semen yang menghadap ke arah danau, di seberang danau itu terlihat sebuah gedung yang baru di renovasi dan gedung tinggi yang sedang dibangun, terdengar kabar bahwa gedung itu merupakan gedung baru untuk mahasiswa kedokteran. Di samping gedung yang belum selesai itu terlihat alat berat yang digunakan untuk membantu pengerjaan pembuatan gedung.
Aku bisa melihat beberapa mahasiswa yang sedang asik mengerjakan tugas-tugasnya dengan name tag yang masih dikalungkan di leher mereka, terlihat bahwa mereka adalah mahasiswa baru yang sedang mengerjakan tugas dari para mahasiswa senior, tak jarang terdengar keluhan mereka. Dari tempat dudukku terlihat penjual makanan yang melewati jalan setapak di samping danau. Tersenyum geli melihat kucing hitam berlari ketakutan ketika seorang mahasiswa yang hendak memegang ekornya. Semakin lama aku duduk dan bercengkrama, semakin banyak mahasiswa yang datang di tempat ini. Mungkin mereka menghabiskan waktu bersama mahasiswa lain hanya untuk sekedar duduk dan bercengkrama seusai perkuliahan atau bahkan mengerjakan tugas kelompok mereka. Sejauh mata memandang terlihat seorang mahasiswa yang sedang asik duduk di samping danau sambil sesekali tersenyum memandang laptop yang dipangkunya.
Langit biru berubah menjadi kemerahan. Lampu-lampu gedung di seberang danau mulai menyala. Begitu pula lampu-lampu yang berada di pinggir jalan setapak juga mulai memancarkan cahaya terangnya. Terlihat dari tempat dudukku, mesin-mesin besar yang dari pagi berderu bekerja untuk membuat gedung tinggi mulai tidak bersuara lagi. Jalanan setapak mulai dipadati mahasiswa yang berlalu-lalang berjalan meninggalkan tempat duduk keras di taman itu. Bahkan terlihat di langit segerombolan burung terbang seakan menandakan bahwa malam akan segera datang.

Senin, 17 September 2012

Asal-Usul Terjadinya Perang Jawa (1825-1830)



Peter Carey
I.     Pendahuluan
Perang Jawa atau biasa di kenal dengan nama Perang Diponegoro yang terjadi pada 1825-1830 merupakan suatu gerakan sosial yang untuk pertama kalinya pemerintahan kolonial menghadapi suatu pemberontakan sosial yang mencakup sebagian besar pulau Jawa, dimana Jawa Tengah dan Jawa Timur serta banyak wilayah-wilayah Pesisir (daerah pantai Utara) terlibat dalam pemberontakan ini. Dua juta orang Jawa atau sama banyaknya dengan sepertiga dari seluruh penduduk Jawa, mengalami akibat dari perang ini, seperempat luas tanah yang telah diolah serta ditanami menderita kerusakan serta sekitar 200.000 orang Jawa menemui ajalnya. Bahkan orang-orang Belanda juga merasakan penderitaan yang ditimbulkan oleh perang tersebut, sekitar 8.000 orang pasukan bangsa Eropa serta 7.000 orang prajurit Jawa, yang berperang demi kepentingan Belanda terbunuh dalam peperangan tersebut. Dalam permasalahan khas negara Belanda juga mengalami kerugian akibat dari Perang Jawa. Belanda harus mengeluarkan uang sebanyak sekitar 20 juta gulden untuk membiayai seluruh pengeluaran yang terjadi sebagai akibat Perang Jawa.
Ketika VOC mengalami kebangkrutan bada akhir abad ke-18 sebagai perseroan dagang dan akhirnya diambil alih oleh pemerintah Belanda yang baru, Republik Batave yang dilahirkan karena intervensi Perancis yang revolusioner. Republik Batave ini merupkan satelit Perancis yang diperkokoh dalam kedudukan ketika adik Napoleon Bonaparte yang menjadi kaisar Perancis dijadikan Raja Louis Napoleon dari Holland. Kerajaan Belanda tersebut dianeksir oleh Perancissampai jatuhnya Napoleon, dan dijadikan kerajaan di bawah dinasti sebelum revolusi yakni keluarga Oranje. Inggris yang melawan revolusi Perancis, dan Napoleon sejak 1729 mengambil alih koloni-koloni Belanda yang juga dianggap musuhnya. Kemudian pada tahun 1811 Pulau Jawa diduduki oleh Inggris dengan Letnan Gubernur Raffles sebagai penguasa di Jawa.

II.  Isi
Peperangan yang terjadi ternyata memberikan Belanda sebuah pengendalian, pengawasan serta penguasaan tanpa batas atas Pulau Jawa yang kemudian dimulailah suatu zaman pemerintahan kolonial yang baru serta beranjak dari diawalinya “Sistem Kultur” (1830-1840) oleh Johannes van den Bosch. Dengan demikian perang itu telah menandai akhir proses kolonialisasi dibawah kekuasaan Daendels (1808-1811), perubahan dari era perdagangan Kompeni Hindia Timur Belanda yang mempunyai hubungan dengan kerajaan-kerajaan Jawa yang terletak di Jawa Tengah yang terlihat hanya mempuyai sifat ambasadorial belaka.
Keadaan sosial yang terjadi bahwa kerajaan-kerajaan yang mempunyai hubungan dengan Belanda hanya menempati kedudukan lebih rendah martabatnya dari pada kedudukan Belanda. Bagi orang Jawa Perang yang terjadi mempunyai arti yang penting dimana untuk pertama kalinya sebuah pemberontakan telah meletus pada salah satu kraton-kraton (istana-istana) Jawa di Jawa Tengah, yang terutama sekali lebih banyak disebabkan oleh permasalahan sosial dan ekonomi. Dalam perang Jawa tidak bisa dilepaskan dengan sosok Pangeran Diponegoro, yang dianggap sebagai Ratu Adil Jawa.
Ketika berlangsungnya Perang Jawa (1825-1830), Diponegoro yang ketika itu bergelar “Sultan Ngaddulkamid Erucakra Karibul Mukminin Sayidin Panataning Jawa Kalifat Rasullah” dianggap Belanda bahwa kekuatan Perang Jawa adalah sebuah daya tarik dari agama. Perang Jawa merupakan sebuah Perang Sabil (Perang Suci) melawan Belanda dan orang-orang Jawa yang menjadi sekutu Belanda. Watak keagamaan yang menjadi sebuah kekuatan Perang Jawa, hal inilah yang membuat Menteri Wilayah Jajahan Belanda C. Th. Elout (1824-1829) menolak berbagai saran yang diajukan sejumlah pejabat Belanda agar Perang diakhiri dengan mengakui Diponegoro sebagai pangeran yang merdeka di Jawa (Sesuai dengan yang dilakukan terhadap Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said di pertengahan abad-18).
Menurut pandangan Elout, pangeran Diponegoro diakui sebagai pangeran pelindung agama (Ratu Panegeg Panatagama) di Jawa. Hubungan ini yang nantinya memberikan sebuah kesan adanya hubungan yang erat dengan masyarakat santri dalam Perang Jawa. Faktor agama ini pula yang telah membuat Perang Jawa benar-benar terpisah dari perjuangan kaum wangsa pada abad ke-17 dan ke-18 (yang mau tidak mau melibatkan Dutch East India Company dalam percaturan politik intern kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah).
  Konsep Perang Sabil yang digunakan pada perang Jawa, merupakan sebuah gambaran dari masyarakat Jawa sendiri mengenai sebuah pengharapan untuk lepas dari sebuah beban penderitaan sosial dan ekonomi yang mulai muncul sejak awal abad ke-19. Konsep tersebut merupakan sebuah hasil yang mereka peroleh dari gambaran-gambaran wayang Jawa (pertunjukan bayangan boneka) serta sentimen-sentimen penduduk asli, yang terdiri dari kedambaan terhadap kembalinya susunan masyarakat tradisional. Dengan keadaan sosial demikian, banyak dari kalangan para pengikut Diponegoro sendiri kemudian menghimpun di dalam suatu wadah bersama para bangsawan, pejabat-pejabat daerah yang diberhentikan, guru-guru keagamaan, bandit-bandit profesional (wong durjana), para buruh angkat barang (batur-batur), buruh harian (bujang-bujang), para petani dan tukang. Dengan demikian perang tersebut merupakan sebuah perwujudan antara keluhan-keluhan yang terjadi diantara masyarakat akibat penderitaan ekonomi dan sosial yang telah melahirkan pergerakan dengan ruang lingkup sosial.
Tidak bisa dipungkiri sebelum terjadinya Perang Jawa terutama pada masa pemerintahan Daendels, ketika pada Juli tahun 1808 Daendels mengumumkan sebuah keputusan resmi yang termasyhur menyangkut sebuah tradisi orang Jawa mengenai “upacara dan etiket”, yang secara radikal kedudukan wakil-wakil bangsa Belanda yang berada di istana-istana serta yang memberikan hantaman pada landasan falsafah politik orang-orang Jawa, dengan membagi kedaulatan Jawa di antara kerajaan-kerajaan Jawa yang terletak di daerah Tengah serta Timur dan wilayah Barat yang dikuasai oleh orang asing. 
Setelah Belanda berhasil menguasai wilayah-wilayah di Jawa, selanjutnya para residen Belanda akan memakai gelar ‘menteri’, sebuah sebutan yang oleh Daendels lebih dianggap lebih pada tempatnya, sesuai dengan kedudukan mereka sebagai para wakil Raja Louis dari negeri Belanda. Begitupun juga, di dalam sejumlah besar butir-butir kecil masalah tata krama Belanda mengharuskan diterima sebagai orang –orang yang sederajat dengan para penguasa bangsa Jawa. Perubahan-perubahan yang demikian sebenarnya hanya sebagian kecil saja, tetapi kepada para penguasa Jawa tersebut mereka melambangkan suatu perubahan yang mendasar di dalam kedudukan Pemerintahan bangsa Eropa terhadap istana-istana mereka. Keadaan dimana para penguasa Belanda mulai meminta agar diperlakukan sederajat dengan para penguasa Jawa, hal demikian pada akhirnya membuat para bangsa  Eropa semakin terang-terangan untuk mengajukan serta menuntut kedaulatan atas bagian-bagian tanah yang terletak di wilayah Jawa.
Dalam bidang ekonomi, setelah Inggris mengembalikan kekuasaan atas Jawa kepada Belanda sekitar tahun 1816, dimana Nahuys van Burgst menjabat sebagai kepala residen di Jogjakarta. Nahuys merupakan seorang pejabat yang cakap dan mempunyai  sejumlah pengalaman dalam masalah-masalah yang bertalian dengan orang Jawa, bahkan mempunyai hubungan erat dengan para penguasa-penguasa di kalangan pemerintah Belanda. Di dalam kebijakan yang dengan derah-daerah koloni, ia merupakan seorang  “liberal” (yaitu seorang yang menganjurkan dipergunakannya modal perorangan dari Barat), dan ia juga berusaha untuk menerapkan pendapat serta kebijakan ekonomi dan politik dengan cara penyewaan tanah di wilayah-wilayah Jogjakarta. Bahkan ketika berakhirnya jabatan Nihuys sebagai residen di Jogjakarta dalam tahun 1822, tidak kurang dari 115 desa dan bidang tanah yang terpisah-pisah telah berhasil disewakan kepada orang-orang Eropa dan Cina di daerah Jogjakarta serta ditambah lagi sebanyak 166 desa dan bidang tanah di Surakarta.
Untuk bagian yang terbesar tanah-tanah tersebut dipergunakan untuk menanam tanaman-tanaman pangan/komoditi ekspor untuk pasaran Eropa, seperti misalnya gula, kopi, nila, dan merica. Namun demikian, perluasan yang cepat penyewaan tanah di wilayah-wilayah para pangeran itu membawa akibat-akibat yang penting. Banyak para bangsawan dan pejabat-pejabat Jawa mempergunakan kesempatan penyewaan tanah ini untuk mendapatkan kembali kerugian-kerugian yang pernah mereka derita selama masa perampasan-perampasan tanah yang terjadi pada tahun 1808-1812, oleh karena keadaan ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan pemasukan yang teratur serta membebaskan mereka dari keharusan melaksanakan pengurusan sendiri atas tanah-tanah mereka tersebut. 
Tetapi peniadaan pengawasan pribadi itu berarti bahwa hubungan paternalistik yang terdapat diantara seorang bangsawan Jawa dengan para penyewa tanahny menjadi menjadi terputus untuk jangka waktu yang tertentu dan uang sewa yang mereka dapatkan dari tanah mereka tidaklah dipergunakan kembali untuk perbaikan maupun penyehatan modal mereka tetapi untuk membeli barang-barang mewah yang didatangkan dari Eropa. Bahkan setelah tahun 1816 terdapat peningkatan pemakaian minuman keras serta penggunaan perabot rumah tangga Eropa, kendaraan-kendaraan serta permainan kartu di kalangan bangsawan Jawa. Bahkan di Surakarta, seperti pangeran Ngabehi, seorang anak laki-laki Pakubuwono IV, memperlengkapi bagian dari pada dalem (tempat tinggalnya) menurut gaya Belanda dari abad ke 17. Bahkan pada beberapa jamuan yang diadakan di Surakarta, seorang tamu Eropa dapat menyaksikan tuan rumahnya sendiri meminum ‘sebalang penuh (anggur) Medeira, disamping kadang ia juga mereguk bergelas-gelas bir dan claret (anggur merah) sekedar untuk memberi variasi. Mungkin inilah kasus yang terlalu ekstrim, tetapi kendatipun Jogjakarta tetap bersifat lebih tradisional, dapat pula dijumpai perubahan-perubahan di dalam gaya hidup mereka. Bahkan Sultan yang ke empat pun, mungkin sekali atas dorongan Nahuys, memerintahkan sejumlah pengawal pribadinya untuk mengenakan seragam bangsa Eropa sementara Sultan sendiri merasa senang untuk mengenakan pakaian mayor jenderal tentara Belanda pada ekskursi-ekskursi berkendaraan di luar keraton.
Bahkan yang lebih penting lagi dari pada hanya sekedar adanya perubahan-perubahan di dalam gaya hidup, yang diakibatkan oleh persewaan tanah, di kalangan anggota keraton tampak sebuah dampak yang telah ditimbulkan atas kelompok-kelompok masyarakat pedesaan, oleh karena sebagai akibat dari pada disewakannya tanah-tanah itu kepada orang-orang Eropa dan Cina bukan saja terjadi pemindahan hak atas tanah saja, tetapi justru di dalam kebanyakan hal, bahkan juga di dalam pemindahan penduduk yang tinggal di atas tanah yang disewakan tersebut.
Keadaan perekonomian di Jawa diperparah lagi dengan diperkenalkannya sistem pajak tanah oleh Raffles. Sistem yang diperkenalkan oleh Raffles tersebut dipandang menguntungkan bagi penduduk setempat, oleh karena dengan sistem tersebut diharapkan akan dapat membebaskan mereka dari corvee dan bea cukai yang dipaksakan serta sebagai gantinya mereka harus membayar sebuah pajak tunggal, dalam bentuk uang yang diperkirakan secara adil, berdasarkan harta benda, kekayaan yang mereka miliki dan selanjutnya mereka bebas untuk menanam tanaman-tanaman pangan/komoditi ekspor untuk memenuhi permintaan pasaran bebas. Lebih jauh lagi, sebuah harapan bagi Raffles bahwa pajak yang ditetapkan tersebut lebih banyak ditetapkan dalam bentuk uang daripada dalam bentuk santunan, telah menimbulkan kesulitan bagi para petani Jawa, yang memang lebih banyak hidup dengan menggunakan sistem tukar-menukar daripada sistem ekonomi keuangan dan akibatnya mereka dipaksa untuk bersandar hidup kepada orang Cina, tukang meminjamkan uang, agar dapat memenuhi kewajiban-kewajiban pembayaran tunai mereka.
Namun sistem pajak tanah yang dilaksanakan juga tidak bisa dilepaskan dari korupsi, korupsi yang dilakukan oleh orang-orang Jawa sendiri yang menjadi pejabat itu kadang-kadang menyebabkan mereka diberhentikan dari kedudukan-kedudukan mereka dan pada tahun-tahun sebelumnya meletusnya Perang Jawa dapat disaksikan di daerah Kedu terjadi pertukaran-pertukaran yang cepat, dimana keadaan daerah tersebut merosot tajam dalam tahun 1821, sebagai akibat dari pada gagal panen yang terjadi serta berjangkitnya epidemi kolera pada tahun tersebut. Kemudian pada bulan Januari 1822 beras mencapai harga puncak mencapai 5,50 gulden per pikul (61, 761 kg), yang telah mengakibatkan timbulnya pemberontakan setempat, yang dipimpin oleh Pangeran Dipasana.
 Revolusi yang terjadi selama Diponegoro hidup bukanlah tercipta di Jawa, melainkan diimpor dari Eropa, yaitu revolusi kembar – industri dan politik – yang merobek rezim lama baik di Eropa maupun di Asia. Dengan kedatangan Daendels pada Januari 1808, sebuah tatanan kehidupan tradisional Jawa mulai dihancurkan, dalam rentang waktu kurang dari satu dekade (1808-1816). Bahkan ketika Gubernur Thomas Stamford Raffles menjabat (1811-1816), tatanan lama kolonial VOC (1603-1799) dihancurkan dan digantikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda yang baru yang dimulai tahun 1811. Bahkan Undang-undang dasar (regeerings-reglement) Januari 1818 menetapkan sebuah aturan hukum baru atau rechstaat dan penggantian besar-besaran pemerintah korup VOC dengan pejabat pemerintah jajahan yang baru.
Reformasi inilah yang mengubah Jawa menjadi salah satu daerah jajahan paling menguntungkan di dunia. Hanya dalam selang waktu empat puluh tahun setelah akhir Perang Jawa, Belanda meraup keuntungan yang besar dari hasil Sistem Tanam Paksa (1830-1870). Di bawah sistem tersebut, tanaman niaga seperti gula, teh, kopi, dan nila dibeli dengan harga rendah dari petani-petani Jawa dan dijual dengan harga pasar Internasional. Kekuatan untuk mengeruk laba dengan segala macam cara inilah yang memicu pecahnya Perang Jawa, dimana kekuatan kembar nasionalisme Jawa dan Islam berpadu di bawah panji perang suci Pangeran Diponegoro.