Selasa, 22 November 2011

Pasar Gedhe Sebagai Pusat Perekonomian di Surakarta Awal Abad 20

Perkembangan Ekonomi Surakarta Awal Abad 20


Selain terkenal dengan Keraton Surakarta, ternyata Surakarta juga berkembang menjadi Pasar Batik Nasional sejak tahun 1870. Keadaan ini juga didukung dengan sarana dan prasarana yang cukup memadahi untuk dilaksanakannya perdagangan yaitu jalur kereta api lengkap dengan stasiunnya. Di daerah Purwasari dibangun stasiun yang menghubungkan Surakarta dengan Yogyakarta, kemudian jalur ke Timur, yakni ke jurusan Surabaya dibangunlah stasiun Jebres. Selain ditopang dengan sarana dan prasarana yang memadahi, perkembangan produksi batik mulai dikembangkan secara besar setelah adanya penemuan metode pembuatan batik Cap sejak tahun  1870 dan mengalami perkembangan sehingga mengakibatkan adanya sistem produksi, yang pada akhirnya membawa peningkatan jumlah produksi yang cukup besar sehingga bisa menjangkau pasar yang luas.
Perekonomian Surakarta, secara umum juga ditopang oleh hasil perkebunan, seperti tebu, kopi, tembakau, kina, dan hasil-hasil bumi lainnya. Setelah memasuki abad ke-20, adanya Politik Etis menyebabkan semakin meningkatnya perbaikan irigasi, peningkatan pelayanan kesehatan, perluasan model Barat, dan industrialisasi. Di daerah Gubernemen, perbaikan sarana irigasi untuk keperluan perkebunan berpengaruh baik di wilayah Kasunanan maupun Mangkunegaran. Di Mangkunegaran saluran irigasi dibangun terutama di perkebunan tebu milik Mangkunegaran, yaitu Pabrik Gula Tasikmadu dan Colomadu, sedangkan sarana irigasi di wilayah Kasunanan dibangun di daerah Klaten dan Boyolali, tempat perkebunan swasta menyewa tanah-tanah untuk penanaman tanaman pertanian, terutama tebu.
Sejak ditemukannya canting di Jawa Tengah abad 19, kegiatan membatik di Vorstenlanden menjadi industri terutama dengan tenaga perempuan. Seni membatik di Surakarta sangat dihargai sehingga kemampuan membatik dianggap penting bagi pendidikan kaum perempuan di keraton. Kerajinan batik terutama batik tulis menjadi monopoli keluarga bangsawan, kalangan kerajaan, dan kaum ningrat lainnya. Kondisi ini mnyebabkan batik, terutama batik tulis, pada abad 19 cenderung diproduksi untuk keperluan kalangan kelas berada saja sehingga indusrti batik kurang berkembang secara luas, namun pada tahun 1890-an ketika batik mulai berkembang dan dibuat oleh berbagai kalangan menyebabkan banyak bermunculan industri rumah tangga, yaitu industri batik dalam usaha kecil.
Menjelang tahun 1900, batik sudah menjadi kebutuhan dari masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan pulau-pulau lainnya. Bahkan, jangkauan pasar batik Surakarta sampai ke pulau-pulau lain di Hindia Timur, bahkan sampai ke Singapura, Suriname, dan daerah lainnya. Sampai pertengahan sampai akhir tahun 1920, produksi batik Laweyan telah memenuhi kebutuhan baik pasar lokal maupun nasional. Sebenarnya Laweyan bukan merupakan Pusat Pembatikan tetapi tempat para Pedagang batik, yang dahulunya mereka berjualan lawe. Di laweyan sendiri ada daerah yang bernama Pasar Mati yang menghadap ke arah sungai Banaran. Sungai Banaran dulunya merupakan pelabuhan yang besar dengan Syahbandarnya Ngebehi Loring Pasar. Syahbandar menerima seluruh hasil bumi yang berasal dari wilayah timur Gresik, dan masuk melalui anak sungai Bengawan Solo. Industri batik di Surakarta juga mengahadapi berbagai masalah terutama saat terjadi depresi Ekonomi pada tahun 1930-an, ekspor batik menuju Deli, Borneo, dan Singapura tehenti. Keadaan ini juga disebabkan rendahnya daya beli masyarakat dan karena tingginya persaingan batik antar pengusaha dengan pusat batik lainnya.
Pasar Gede Sebagai Salah Satu Pusat Ekonomi Surakarta
Perkembangan Ekonomi Surakarta tidak lepas dari peranan sebuah pasar sebagai tempat tukar-menukar kebutuhan sehari-hari, di salah satu sudut Kota Surakarta yang masih tersisa sebagai artefak bangunan kota lama dan menjadikan ciri khas peninggalan Kerajaan Mataram adalah Pasar Gede. Secara struktural, bangunan Pasar Gede memiliki bagian-bagian dari bangunan njobo keraton (luar kraton), yaitu tugu pemandengan ndalem, gapura gladhag, gapura pamurakan, alun-alun, masjid agung, pagelaran, dan siti (hi)nggil. Pasar Gede merupakan salah satu bangunan gaya arsitektur Jawa-kolonial, karya Herman Thomas Karsten yang juga merancang banyak bangunan di Jawa tengah, termasuk Pasar Johar di Semarang. Pasar gede pernah terbakar pada tahun 1948 dan selesai dibangun kembali tahun 1954.
Banyak para masyarakat dari daerah pedesaan yang berada di Surakarta setiap pagi akan menjual hasil bumi mereka. Namun pada tahun 1930 saat terjadi depresi ekonomi berbagai hasil bumi yang didatangkan ke Surakarta sangat melimpah namun dihargai murah. Disebutkan dalam surat kabar Dharmo Kondo bahwa pada bulan Juli 1930[23], harga barang-barang dari hasil bumi dari para pedagang yang bersal dari desa-desa sebelah timur dan selatan Kota Surakarta yang tidak sedikit jumlahnya, tetapi barang-barang tersebut cepat terjual. Hal itu terjadi dikarenakan barang-barang tersebut dihargai sangat murah. Bahkan harga barang-barang hasil bumi semakin murah dibandingkan dengan penjualan tiga atau empat bulan sebelumnya. Laporan dari desa Gedawung bahwa harga gaplek (singkong yang dikeringkan) merosot, yaitu hanya mencapai 35 sen per karung kecil. Begitu pula dengan sayur-sayuran seperti tidak ada harganya jika dijual ke pasar, seperti gori (nangka muda) berukuran besar harganya hanya mencapai 5 sen, sehingga kerja petani seakan-akan tidak berharga. Sementara itu, untuk harga beras putih di Pasar Gede Kota Surakarta juga mengalami penurunan, yang pada mulanya satu takaran harganya bisa mencapai 15 sen, tetapi pada masa Depresi Ekonomi turun menjadi 12 sen.

Daftar Pustaka:
Sidharta, Eko Budiharjdo. 1989. Konvensi dan Bangunan Bersejarah di Surakarta. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.
Larson, George D, 1990, “Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1914”, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.