Rabu, 31 Oktober 2012

Harapan itu Telah Mati



Di luar masih gelap gulita bahkan burung pun masih enggan untuk mengeluarkan suaranya, saat kelopak mata Rey mendadak terbuka. Meskipun baru beberapa detik terbangun dari tidurnya, namun ia sudah langsung tersadar.
Akhirnya hari ini tiba juga, Soya masuk kuliah yang sama dengan jurusanku. Soya adalah perempuan yang sudah lama ditaksir oleh Rey abangku.
Kedua mata Rey berbinar, segera ia menggedor-gedor kamarku. “Rani... Rani... cepatlah bangun sudah jam delapan pagi, hari ini pertama kuliahmu.” Serunya. Aku terbangun dan tergeragap dan langsung melompat dari tempat tidur. Kemudian kulihat jam yang berada tepat di atas meja belajarku, aku terkaget ternyata masih jam lima pagi.
“Abanggggg.....!!” Teriakku kesal. “Masih pukul lima pagi kenapa abang bangunin aku sih?”
Sory sory... abang cuma ingin segera mengantarmu dan melihat Soya di kampus, hehehe.” Kata Rey tanpa rasa berdosa karena sudah membuat aku panik.
“Lagian hari ini kan kamu harus ke kampus untuk kuliah pertama kalinya.” Tambahnya, segera mendorongku agar segera masuk ke kamar mandi.
“Cepalah... kamu harus mandi dan sarapan, abang tunggu di bawah.” Cerocosnya sambil keluar dari kamarku.
Setelah sarapan pagi akhirnya aku dan abangku Rey berangkat ke kampus bersama-sama naik motor yang sudah sejak SMA dipakainya sekolah, juga untuk mengantar dan menjemputku.
Abangku dan Soya memang sudah kenal sejak lama, mereka berkenalan ketika bertemu di tempat bimbingan belajar tempat abangku mengajar. Mereka kemudian menjadi akrab dan sama-sama saling suka satu sama lain, tapi sebagai cowok Rey belum berani untuk mengatakan suka kepada Soya, karena Soya masih berstatus SMA. Abangku tidak mau merusak masa SMA Soya dengan berpacaran dengannya.  
Aku dan Soya satu kampus dengan jurusan yang sama, abangku yang memberitahuku kalau kita akan kuliah di jurusan yang sama. Kami baru saja berkenalan, dan ternyata Soya sudah tau aku dari abangku. Tak menyangka ada untungnya juga abangku kenal dengan Soya tak perlu repot-repot aku mencari teman. Soya berperawakan kecil dan sopan serta lemah lembut ketika dia berbicara. Ternyata tidak salah abangku suka dengan Soya, pikirku.
Malam ini Rey akan mendatangi rumah Soya, dan berniat untuk mengatakan semua tentang perasaannya selama ini. Dan meminta Soya untuk menjadi pacarnya.
Hari ini terasa panjang bagiku, karena begitu pertama kali masuk kuliah sederetan soal-soal sudah dijejalkan kepada kami murid baru. Tapi tidak bagi Rey dia begitu bersemangat dimulai dari pagi hari, membangunkanku dan mengantarkanku. Kami berdua bergegas untuk pulang ke rumah. Tapi di perjalanan Rey berkata, “Ran, abang mau beli sebaket bunga mawar dulu untuk diberikan kepada Soya nanti malam.” Aku hanya mengangguk-nganggukan kepalaku ketika abangku bicara. Aku tak ingin merusak kebahagiaan abangku jika mengatakan tidak mau mengantarkannya.
Begitu sampai di rumah, Rey langsung melepas baju yang dipakainya kuliah tadi pagi. Hanya dengan bercelana pendek dan memakai kaos oblong segera menuju meja makan. Tidak seperti biasanya, kali ini dia melahap apapun yang tersaji di meja makan termasuk memakan tempe yang biasanya ogah untuk memakannya. Tanpa protes Rey memakan apapun yang tersaji di meja makan, karena baginya yang terpenting kali ini bukan makan, tapi mempersiapkan segala sesuatu untuk bertemu dengan Soya.
Bi Odah kaget dan seketika bertanya, “Itu kan tempe goreng, Mas. Kok tumben doyan?”
Seketika Rey berhenti mengunyah. Diperhatikan sayuran di piringnya. “Wah, iya ya!” serunya, baru tersadar. “Ah, sudahlah. Teryata rasanya enak juga, meskipun aku sempat berpikir jijik karena membuatnya harus diberi jamur dulu,” sambungnya lalu meneruskan makan dengan lahap. Aku hanya bisa melihat kelakukan aneh abangku yang sedang di mabuk asmara.
“Ran, pinjam hapenya dong. Abang mau menelepon Soya kalau nanti malam abang mau ke rumahnya.” Belum sempat aku mengiyakan, Rey langsung menyambar hapeku di atas meja belajarku. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi melihat kelakuan Rey.
“Yesss, akhirnya Soya mengiyakan untuk bertemu denganku nanti malam.” Teriaknya.
Rey kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas kasurku, mengatakan padaku untuk membangunkannya setengah enam sore tepat dan berpesan jangan menggangu tidurnya. Kembali kuanggukkan kepalaku demi kebahagiaan abangku.
Abang hanya tidur sebentar, itu juga gelisah. Berkali-kali dia mengubah posisi atau menarik napas panjang. Berkai-kali juga dia berguman dalam tidurnya. Kalau tadi ia berpesan jangan mengganggu tidurnya justru sekarang aku yang justru terganggu, belum setengah enam akhirnya Rey bangun dengan sendirinya. Mungkin karena dia sedang gelisah jadi tidak bisa tidur dengan nyenyak.
“Abang gimana tidurnya?”
“Aduh. Aku gelisah banget. Jadi mimpi yang gak jelas nih, Ran.”
“Makanya abang jangan tidur sambil mikir.” Kataku.
“Iya, kali ya?” Rey turun dari tempat tidurku. Dan beranjak ke kamar mandi.

Selesai mandi, dilanjutkan dengan dandan. Aku memperhatikan abang sambil sesekali geleng-geleng kepala dan menahan senyum geli. Baru kali ini aku melihat abang keluar rumah dengan menyisir rambutnya dan menyetrika baju terlebih dahulu. Paling-paling rambut pendeknya hanya dirapikan dengan menggunakan tangannya.
Setelah dia merasa bahwa rambutnya sudah oke, bajuu oke, sepatu juga oke, berikutnya adalah parfum. Rey menyemprotkan parfum kesayangannya dan seketikaaroma wangi tercium sampai ke kamarku ketika dia berjalan melewati kamarku.
Aku tersenyum geli ketika abangku berjalan menuruni tangga dengan perasaan senang dan sedikit-sedikit tersenyum seperti orang gila di pinggir jalan.
Dia mengambil mobil dari garasi, kali ini dia tidak memakai motor entahlah jarang sekali dia memakai mobil hanya sesekali jika memang ada perlu. Sampai di luar pagar rumah, kemnali dia masuk rumah dan berteriak kepadaku “Raniiii.... ambilin baket bunga yang abang beli tadi siang di kamar. Abang lupa membawanya.” aku terkaget dan segera aku menuju kamarnya dan mengambilkan bunga untuknya. “Terimakasih adikku,” sambil mengelus kepalaku. Sebagai seorang adik aku hanya bisa pasrah ketika harus disuruh-suruh Rey abangku.
Sepanjang jalan bisa dibilang Rey nyaris tidak mengeluarkan suara. Ia sibuk memandangi baket bunga yang dia letakkan di kursi samping kemudi. Keringatnya mengucur deras. Mobil yang Rey bawa berhenti menepi di seberang jalan rumah Soya, karena harus memutar lebih jauh jika harus berhenti tepat di depan rumah Soya.
“Soya, aku sudah di seberang berada di seberang rumahmu.” Kata Rey di dalam telepon.
Soya segera menjawab dari dalam telepon, “Iya kak, kau akan segera keluar rumah.”
Bisa dirasakan bahwa Rey gugup ketika akan bertemu dengan Soya. Kecemasan. Ketakutannya. Seluruhnya memuncak pada hari ini. Rey memutar musik kesukaannya, Sembari menunggu Soya di dalam mobil yang diparkir din seberang jalan. Tapi betapa bodohnya kenapa Rey hanya menunggu Soya.
Soya kemudian bilang kepada kedua orang tuannya, bahwa dia akan bertemu dengan Rey di depan rumah. Soya kemudian keluar dari rumahnya, dengan perasaan senang dan tak bisa dilukisakan, ternyata Soya juga sudah menunggu hari ini tiba, semua rasa yang lama disimpan oleh Soya. Tetapi rasa itu telah benar-benar menghilangkan konsentrasi Soya terhadap apapun di sekeliling Soya.
Jalan di sekitar rumah Soya malam itupun lengang. Dengan santainya Soya berjalan keluar rumah, menutup pagar dan berjalan menyeberang jalan. Begitu pula dengan pengemudi mobil sedan yang memanfaatkan kelengangan jalanan sekitar rumah Soya. Dengan santainya berjalan tanpa melihat kanan-kiri bahkan Soya tidak memperdulikan “sesuatu” bergerak semakin cepat.
Rem berdecit dengan kerasnya sampai memekikkan telinga, semua orang bahkan yang di dalam rumah pun bisa mendengar decitan suara rem mobil itu, dan segera berhamburan keluar rumah. Semua bisa mendengar kerasnya bunyi hantaman. Hanya beberapa hitungan detik. Tidak ada yang bisa dilakukan termasuk Rey, yang segera berlari keluar dari mobilnya tanpa sempat mengambil baket bunga yang telah disipkan sebelumnya. Orang-orang hanya sempat tersentak. Terkesima. Menatap dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
Tubuh mungil itupun rebah. Tanpa sempat mengeluarkan sepatah kata apapun. Darah mengalir derasnya. Baju putih yang dipakai Soya memerah karena berlumuran darah. Rey berlari kesetanan dan segera memeluk Soya. Rey duduk bersimpuh di tengah jalan, dengan Soya di dalam pelukan. Sepasang mata yang menatapnya dengan kecemasan namun begitu hidup dan menyala semangat serta membawa sebuah harapan besar, kini telah redup. Bahkan telah mati, karena maut.

Senin, 22 Oktober 2012

Berdua di Kala Senja Tiba


Berdua Kala Senja Tiba

Aku percaya bahwa Cinta itu Sederhana. Bisa ditemukan dimana saja dan kapan saja dan dalam bentuk apa saja (Dominique Diyose)
Setelah sekian lama, tanganku kembali iseng untuk mencorat-coret kertas kosong yang tak terpakai. Aku pun terus mencoret-coret kertas berwarna putih itu, kertas yang tadinya hanya putih kini sudah penuh dengan sebuah gambar. Tak kusadari aku pun menggambarkan sebuah kenangan yang telah lama aku pendam. Sebuah kisah yang telah lama berakhir kembali lagi hadir di dalam benakku yang tertuang dalam gambarku. Kembali terasa hampa ketika aku tau kau sudah bersama lagi dengan orang lain. Ah sudahlah pikirku. Aku hanya bisa menggambarkan ketika kita sedang duduk berdua menghadap ke sebuah sungai ketika senja tiba serta diiringi oleh alunan suara aliran air yang tenang dan sepoi-sepoi angin di kala sore menjelang.
Sedih ketika menatap dan melihat gambar dari coretan tanganku sendiri, entah kenapa kembali ku memikirkanmu di saat kau sudah berdua dengan yang lain. Mungkinkah sesakit ini ketika dulu aku terlalu menyayangimu. Ataukah aku yang tak bisa melepaskanmu. Kini akupun hanya bisa berusaha agar bisa melupakanmu. Aku harus kembali bangkit dengan apa yang ada sekarang. Dan aku yakin aku masih bisa untuk menyayangi orang yang lebih baik darimu.
Aku selalu percaya kisah hidupku masih panjang dengan segala macam cerita yang akan ku lewati dan aku yakin “in every sad story, there’s always happiness coming after”.
Hanya sebuah coretan masa lalu... 😤😤