Peter Carey
I.
Pendahuluan
Perang Jawa atau
biasa di kenal dengan nama Perang Diponegoro yang terjadi pada 1825-1830 merupakan
suatu gerakan sosial yang untuk pertama kalinya pemerintahan kolonial
menghadapi suatu pemberontakan sosial yang mencakup sebagian besar pulau Jawa,
dimana Jawa Tengah dan Jawa Timur serta banyak wilayah-wilayah Pesisir (daerah
pantai Utara) terlibat dalam pemberontakan ini. Dua juta orang Jawa atau sama
banyaknya dengan sepertiga dari seluruh penduduk Jawa, mengalami akibat dari
perang ini, seperempat luas tanah yang telah diolah serta ditanami menderita
kerusakan serta sekitar 200.000 orang Jawa menemui ajalnya. Bahkan orang-orang
Belanda juga merasakan penderitaan yang ditimbulkan oleh perang tersebut,
sekitar 8.000 orang pasukan bangsa Eropa serta 7.000 orang prajurit Jawa, yang
berperang demi kepentingan Belanda terbunuh dalam peperangan tersebut. Dalam
permasalahan khas negara Belanda juga mengalami kerugian akibat dari Perang
Jawa. Belanda harus mengeluarkan uang sebanyak sekitar 20 juta gulden untuk
membiayai seluruh pengeluaran yang terjadi sebagai akibat Perang Jawa.
Ketika VOC
mengalami kebangkrutan bada akhir abad ke-18 sebagai perseroan dagang dan
akhirnya diambil alih oleh pemerintah Belanda yang baru, Republik Batave yang
dilahirkan karena intervensi Perancis yang revolusioner. Republik Batave ini
merupkan satelit Perancis yang diperkokoh dalam kedudukan ketika adik Napoleon
Bonaparte yang menjadi kaisar Perancis dijadikan Raja Louis Napoleon dari
Holland. Kerajaan Belanda tersebut dianeksir oleh Perancissampai jatuhnya
Napoleon, dan dijadikan kerajaan di bawah dinasti sebelum revolusi yakni
keluarga Oranje. Inggris yang melawan revolusi Perancis, dan Napoleon sejak
1729 mengambil alih koloni-koloni Belanda yang juga dianggap musuhnya. Kemudian
pada tahun 1811 Pulau Jawa diduduki oleh Inggris dengan Letnan Gubernur Raffles
sebagai penguasa di Jawa.
II. Isi
Peperangan
yang terjadi ternyata memberikan Belanda sebuah pengendalian, pengawasan serta
penguasaan tanpa batas atas Pulau Jawa yang kemudian dimulailah suatu zaman
pemerintahan kolonial yang baru serta beranjak dari diawalinya “Sistem Kultur”
(1830-1840) oleh Johannes van den Bosch. Dengan demikian perang itu telah
menandai akhir proses kolonialisasi dibawah kekuasaan Daendels (1808-1811),
perubahan dari era perdagangan Kompeni Hindia Timur Belanda yang mempunyai
hubungan dengan kerajaan-kerajaan Jawa yang terletak di Jawa Tengah yang
terlihat hanya mempuyai sifat ambasadorial belaka.
Keadaan
sosial yang terjadi bahwa kerajaan-kerajaan yang mempunyai hubungan dengan
Belanda hanya menempati kedudukan lebih rendah martabatnya dari pada kedudukan
Belanda. Bagi orang Jawa Perang yang terjadi mempunyai arti yang penting dimana
untuk pertama kalinya sebuah pemberontakan telah meletus pada salah satu
kraton-kraton (istana-istana) Jawa di Jawa Tengah, yang terutama sekali lebih
banyak disebabkan oleh permasalahan sosial dan ekonomi. Dalam perang Jawa tidak
bisa dilepaskan dengan sosok Pangeran Diponegoro, yang dianggap sebagai Ratu
Adil Jawa.
Ketika
berlangsungnya Perang Jawa (1825-1830), Diponegoro yang ketika itu bergelar
“Sultan Ngaddulkamid Erucakra Karibul Mukminin Sayidin Panataning Jawa Kalifat
Rasullah” dianggap Belanda bahwa kekuatan Perang Jawa adalah sebuah daya tarik
dari agama. Perang Jawa merupakan sebuah Perang Sabil (Perang Suci) melawan
Belanda dan orang-orang Jawa yang menjadi sekutu Belanda. Watak keagamaan yang
menjadi sebuah kekuatan Perang Jawa, hal inilah yang membuat Menteri Wilayah
Jajahan Belanda C. Th. Elout (1824-1829) menolak berbagai saran yang diajukan
sejumlah pejabat Belanda agar Perang diakhiri dengan mengakui Diponegoro
sebagai pangeran yang merdeka di Jawa (Sesuai dengan yang dilakukan terhadap
Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said di pertengahan abad-18).
Menurut
pandangan Elout, pangeran Diponegoro diakui sebagai pangeran pelindung agama
(Ratu Panegeg Panatagama) di Jawa. Hubungan ini yang nantinya memberikan sebuah
kesan adanya hubungan yang erat dengan masyarakat santri dalam Perang Jawa.
Faktor agama ini pula yang telah membuat Perang Jawa benar-benar terpisah dari
perjuangan kaum wangsa pada abad ke-17 dan ke-18 (yang mau tidak mau melibatkan
Dutch East India Company dalam percaturan politik intern kerajaan-kerajaan di
Jawa Tengah).
Konsep
Perang Sabil yang digunakan pada perang Jawa, merupakan sebuah gambaran dari
masyarakat Jawa sendiri mengenai sebuah pengharapan untuk lepas dari sebuah
beban penderitaan sosial dan ekonomi yang mulai muncul sejak awal abad ke-19.
Konsep tersebut merupakan sebuah hasil yang mereka peroleh dari
gambaran-gambaran wayang Jawa
(pertunjukan bayangan boneka) serta sentimen-sentimen penduduk asli, yang
terdiri dari kedambaan terhadap kembalinya susunan masyarakat tradisional.
Dengan keadaan sosial demikian, banyak dari kalangan para pengikut Diponegoro
sendiri kemudian menghimpun di dalam suatu wadah bersama para bangsawan,
pejabat-pejabat daerah yang diberhentikan, guru-guru keagamaan, bandit-bandit
profesional (wong durjana), para
buruh angkat barang (batur-batur),
buruh harian (bujang-bujang), para
petani dan tukang. Dengan demikian perang tersebut merupakan sebuah perwujudan
antara keluhan-keluhan yang terjadi diantara masyarakat akibat penderitaan
ekonomi dan sosial yang telah melahirkan pergerakan dengan ruang lingkup
sosial.
Tidak
bisa dipungkiri sebelum terjadinya Perang Jawa terutama pada masa pemerintahan
Daendels, ketika pada Juli tahun 1808 Daendels mengumumkan sebuah keputusan
resmi yang termasyhur menyangkut sebuah tradisi orang Jawa mengenai “upacara
dan etiket”, yang secara radikal kedudukan wakil-wakil bangsa Belanda yang
berada di istana-istana serta yang memberikan hantaman pada landasan falsafah
politik orang-orang Jawa, dengan membagi kedaulatan Jawa di antara
kerajaan-kerajaan Jawa yang terletak di daerah Tengah serta Timur dan wilayah
Barat yang dikuasai oleh orang asing.
Setelah
Belanda berhasil menguasai wilayah-wilayah di Jawa, selanjutnya para residen
Belanda akan memakai gelar ‘menteri’, sebuah sebutan yang oleh Daendels lebih
dianggap lebih pada tempatnya, sesuai dengan kedudukan mereka sebagai para
wakil Raja Louis dari negeri Belanda. Begitupun juga, di dalam sejumlah besar
butir-butir kecil masalah tata krama Belanda mengharuskan diterima sebagai
orang –orang yang sederajat dengan para penguasa bangsa Jawa.
Perubahan-perubahan yang demikian sebenarnya hanya sebagian kecil saja, tetapi
kepada para penguasa Jawa tersebut mereka melambangkan suatu perubahan yang
mendasar di dalam kedudukan Pemerintahan bangsa Eropa terhadap istana-istana
mereka. Keadaan dimana para penguasa Belanda mulai meminta agar diperlakukan
sederajat dengan para penguasa Jawa, hal demikian pada akhirnya membuat para
bangsa Eropa semakin terang-terangan
untuk mengajukan serta menuntut kedaulatan atas bagian-bagian tanah yang
terletak di wilayah Jawa.
Dalam
bidang ekonomi, setelah Inggris mengembalikan kekuasaan atas Jawa kepada
Belanda sekitar tahun 1816, dimana Nahuys van Burgst menjabat sebagai kepala
residen di Jogjakarta. Nahuys merupakan seorang pejabat yang cakap dan
mempunyai sejumlah pengalaman dalam
masalah-masalah yang bertalian dengan orang Jawa, bahkan mempunyai hubungan
erat dengan para penguasa-penguasa di kalangan pemerintah Belanda. Di dalam
kebijakan yang dengan derah-daerah koloni, ia merupakan seorang “liberal” (yaitu seorang yang menganjurkan
dipergunakannya modal perorangan dari Barat), dan ia juga berusaha untuk
menerapkan pendapat serta kebijakan ekonomi dan politik dengan cara penyewaan
tanah di wilayah-wilayah Jogjakarta. Bahkan ketika berakhirnya jabatan Nihuys
sebagai residen di Jogjakarta dalam tahun 1822, tidak kurang dari 115 desa dan
bidang tanah yang terpisah-pisah telah berhasil disewakan kepada orang-orang
Eropa dan Cina di daerah Jogjakarta serta ditambah lagi sebanyak 166 desa dan
bidang tanah di Surakarta.
Untuk
bagian yang terbesar tanah-tanah tersebut dipergunakan untuk menanam
tanaman-tanaman pangan/komoditi ekspor untuk pasaran Eropa, seperti misalnya
gula, kopi, nila, dan merica. Namun demikian, perluasan yang cepat penyewaan
tanah di wilayah-wilayah para pangeran itu membawa akibat-akibat yang penting.
Banyak para bangsawan dan pejabat-pejabat Jawa mempergunakan kesempatan penyewaan
tanah ini untuk mendapatkan kembali kerugian-kerugian yang pernah mereka derita
selama masa perampasan-perampasan tanah yang terjadi pada tahun 1808-1812, oleh
karena keadaan ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan pemasukan yang teratur
serta membebaskan mereka dari keharusan melaksanakan pengurusan sendiri atas
tanah-tanah mereka tersebut.
Tetapi
peniadaan pengawasan pribadi itu berarti bahwa hubungan paternalistik yang
terdapat diantara seorang bangsawan Jawa dengan para penyewa tanahny menjadi
menjadi terputus untuk jangka waktu yang tertentu dan uang sewa yang mereka
dapatkan dari tanah mereka tidaklah dipergunakan kembali untuk perbaikan maupun
penyehatan modal mereka tetapi untuk membeli barang-barang mewah yang
didatangkan dari Eropa. Bahkan setelah tahun 1816 terdapat peningkatan
pemakaian minuman keras serta penggunaan perabot rumah tangga Eropa,
kendaraan-kendaraan serta permainan kartu di kalangan bangsawan Jawa. Bahkan di
Surakarta, seperti pangeran Ngabehi, seorang anak laki-laki Pakubuwono IV,
memperlengkapi bagian dari pada dalem (tempat tinggalnya) menurut gaya Belanda
dari abad ke 17. Bahkan pada beberapa jamuan yang diadakan di Surakarta,
seorang tamu Eropa dapat menyaksikan tuan rumahnya sendiri meminum ‘sebalang
penuh (anggur) Medeira, disamping kadang ia juga mereguk bergelas-gelas bir dan
claret (anggur merah) sekedar untuk memberi variasi. Mungkin inilah kasus yang
terlalu ekstrim, tetapi kendatipun Jogjakarta tetap bersifat lebih tradisional,
dapat pula dijumpai perubahan-perubahan di dalam gaya hidup mereka. Bahkan
Sultan yang ke empat pun, mungkin sekali atas dorongan Nahuys, memerintahkan
sejumlah pengawal pribadinya untuk mengenakan seragam bangsa Eropa sementara
Sultan sendiri merasa senang untuk mengenakan pakaian mayor jenderal tentara
Belanda pada ekskursi-ekskursi berkendaraan di luar keraton.
Bahkan
yang lebih penting lagi dari pada hanya sekedar adanya perubahan-perubahan di
dalam gaya hidup, yang diakibatkan oleh persewaan tanah, di kalangan anggota
keraton tampak sebuah dampak yang telah ditimbulkan atas kelompok-kelompok
masyarakat pedesaan, oleh karena sebagai akibat dari pada disewakannya
tanah-tanah itu kepada orang-orang Eropa dan Cina bukan saja terjadi pemindahan
hak atas tanah saja, tetapi justru di dalam kebanyakan hal, bahkan juga di
dalam pemindahan penduduk yang tinggal di atas tanah yang disewakan tersebut.
Keadaan
perekonomian di Jawa diperparah lagi dengan diperkenalkannya sistem pajak tanah
oleh Raffles. Sistem yang diperkenalkan oleh Raffles tersebut dipandang
menguntungkan bagi penduduk setempat, oleh karena dengan sistem tersebut
diharapkan akan dapat membebaskan mereka dari corvee dan bea cukai yang dipaksakan serta sebagai gantinya mereka
harus membayar sebuah pajak tunggal, dalam bentuk uang yang diperkirakan secara
adil, berdasarkan harta benda, kekayaan yang mereka miliki dan selanjutnya
mereka bebas untuk menanam tanaman-tanaman pangan/komoditi ekspor untuk
memenuhi permintaan pasaran bebas. Lebih jauh lagi, sebuah harapan bagi Raffles
bahwa pajak yang ditetapkan tersebut lebih banyak ditetapkan dalam bentuk uang
daripada dalam bentuk santunan, telah menimbulkan kesulitan bagi para petani
Jawa, yang memang lebih banyak hidup dengan menggunakan sistem tukar-menukar
daripada sistem ekonomi keuangan dan akibatnya mereka dipaksa untuk bersandar
hidup kepada orang Cina, tukang meminjamkan uang, agar dapat memenuhi
kewajiban-kewajiban pembayaran tunai mereka.
Namun
sistem pajak tanah yang dilaksanakan juga tidak bisa dilepaskan dari korupsi,
korupsi yang dilakukan oleh orang-orang Jawa sendiri yang menjadi pejabat itu
kadang-kadang menyebabkan mereka diberhentikan dari kedudukan-kedudukan mereka
dan pada tahun-tahun sebelumnya meletusnya Perang Jawa dapat disaksikan di
daerah Kedu terjadi pertukaran-pertukaran yang cepat, dimana keadaan daerah
tersebut merosot tajam dalam tahun 1821, sebagai akibat dari pada gagal panen
yang terjadi serta berjangkitnya epidemi kolera pada tahun tersebut. Kemudian
pada bulan Januari 1822 beras mencapai harga puncak mencapai 5,50 gulden per
pikul (61, 761 kg), yang telah mengakibatkan timbulnya pemberontakan setempat,
yang dipimpin oleh Pangeran Dipasana.
Revolusi yang terjadi selama Diponegoro hidup
bukanlah tercipta di Jawa, melainkan diimpor dari Eropa, yaitu revolusi kembar
– industri dan politik – yang merobek rezim lama baik di Eropa maupun di Asia.
Dengan kedatangan Daendels pada Januari 1808, sebuah tatanan kehidupan
tradisional Jawa mulai dihancurkan, dalam rentang waktu kurang dari satu dekade
(1808-1816). Bahkan ketika Gubernur Thomas Stamford Raffles menjabat
(1811-1816), tatanan lama kolonial VOC (1603-1799) dihancurkan dan digantikan
oleh pemerintahan Hindia-Belanda yang baru yang dimulai tahun 1811. Bahkan
Undang-undang dasar (regeerings-reglement) Januari 1818 menetapkan sebuah
aturan hukum baru atau rechstaat dan penggantian besar-besaran pemerintah korup
VOC dengan pejabat pemerintah jajahan yang baru.
Reformasi
inilah yang mengubah Jawa menjadi salah satu daerah jajahan paling
menguntungkan di dunia. Hanya dalam selang waktu empat puluh tahun setelah
akhir Perang Jawa, Belanda meraup keuntungan yang besar dari hasil Sistem Tanam
Paksa (1830-1870). Di bawah sistem tersebut, tanaman niaga seperti gula, teh,
kopi, dan nila dibeli dengan harga rendah dari petani-petani Jawa dan dijual
dengan harga pasar Internasional. Kekuatan untuk mengeruk laba dengan segala
macam cara inilah yang memicu pecahnya Perang Jawa, dimana kekuatan kembar
nasionalisme Jawa dan Islam berpadu di bawah panji perang suci Pangeran Diponegoro.