Di luar masih
gelap gulita bahkan burung pun masih enggan untuk mengeluarkan suaranya, saat
kelopak mata Rey mendadak terbuka. Meskipun baru beberapa detik terbangun dari
tidurnya, namun ia sudah langsung tersadar.
Akhirnya hari
ini tiba juga, Soya masuk kuliah yang sama dengan jurusanku. Soya adalah
perempuan yang sudah lama ditaksir oleh Rey abangku.
Kedua mata Rey
berbinar, segera ia menggedor-gedor kamarku. “Rani... Rani... cepatlah bangun
sudah jam delapan pagi, hari ini pertama kuliahmu.” Serunya. Aku terbangun dan
tergeragap dan langsung melompat dari tempat tidur. Kemudian kulihat jam yang
berada tepat di atas meja belajarku, aku terkaget ternyata masih jam lima pagi.
“Abanggggg.....!!”
Teriakku kesal. “Masih pukul lima pagi kenapa abang bangunin aku sih?”
“Sory sory... abang cuma ingin segera
mengantarmu dan melihat Soya di kampus, hehehe.” Kata Rey tanpa rasa berdosa
karena sudah membuat aku panik.
“Lagian hari ini
kan kamu harus ke kampus untuk kuliah pertama kalinya.” Tambahnya, segera
mendorongku agar segera masuk ke kamar mandi.
“Cepalah... kamu
harus mandi dan sarapan, abang tunggu di bawah.” Cerocosnya sambil keluar dari
kamarku.
Setelah sarapan
pagi akhirnya aku dan abangku Rey berangkat ke kampus bersama-sama naik motor
yang sudah sejak SMA dipakainya sekolah, juga untuk mengantar dan menjemputku.
Abangku dan Soya
memang sudah kenal sejak lama, mereka berkenalan ketika bertemu di tempat
bimbingan belajar tempat abangku mengajar. Mereka kemudian menjadi akrab dan
sama-sama saling suka satu sama lain, tapi sebagai cowok Rey belum berani untuk
mengatakan suka kepada Soya, karena Soya masih berstatus SMA. Abangku tidak mau
merusak masa SMA Soya dengan berpacaran dengannya.
Aku dan Soya
satu kampus dengan jurusan yang sama, abangku yang memberitahuku kalau kita akan
kuliah di jurusan yang sama. Kami baru saja berkenalan, dan ternyata Soya sudah
tau aku dari abangku. Tak menyangka ada untungnya juga abangku kenal dengan
Soya tak perlu repot-repot aku mencari teman. Soya berperawakan kecil dan sopan
serta lemah lembut ketika dia berbicara. Ternyata tidak salah abangku suka
dengan Soya, pikirku.
Malam ini Rey
akan mendatangi rumah Soya, dan berniat untuk mengatakan semua tentang
perasaannya selama ini. Dan meminta Soya untuk menjadi pacarnya.
Hari ini terasa panjang bagiku, karena
begitu pertama kali masuk kuliah sederetan soal-soal sudah dijejalkan kepada
kami murid baru. Tapi tidak bagi Rey dia begitu bersemangat dimulai dari pagi
hari, membangunkanku dan mengantarkanku. Kami berdua bergegas untuk pulang ke
rumah. Tapi di perjalanan Rey berkata, “Ran, abang mau beli sebaket bunga mawar
dulu untuk diberikan kepada Soya nanti malam.” Aku hanya mengangguk-nganggukan
kepalaku ketika abangku bicara. Aku tak ingin merusak kebahagiaan abangku jika
mengatakan tidak mau mengantarkannya.
Begitu sampai di rumah, Rey langsung
melepas baju yang dipakainya kuliah tadi pagi. Hanya dengan bercelana pendek
dan memakai kaos oblong segera menuju meja makan. Tidak seperti biasanya, kali
ini dia melahap apapun yang tersaji di meja makan termasuk memakan tempe yang
biasanya ogah untuk memakannya. Tanpa protes Rey memakan apapun yang tersaji di
meja makan, karena baginya yang terpenting kali ini bukan makan, tapi
mempersiapkan segala sesuatu untuk bertemu dengan Soya.
Bi
Odah kaget dan seketika bertanya, “Itu kan tempe goreng, Mas. Kok tumben
doyan?”
Seketika
Rey berhenti mengunyah. Diperhatikan sayuran di piringnya. “Wah, iya ya!”
serunya, baru tersadar. “Ah, sudahlah. Teryata rasanya enak juga, meskipun aku
sempat berpikir jijik karena membuatnya harus diberi jamur dulu,” sambungnya
lalu meneruskan makan dengan lahap. Aku hanya bisa melihat kelakukan aneh
abangku yang sedang di mabuk asmara.
“Ran, pinjam
hapenya dong. Abang mau menelepon Soya kalau nanti malam abang mau ke
rumahnya.” Belum sempat aku mengiyakan, Rey langsung menyambar hapeku di atas
meja belajarku. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi melihat kelakuan Rey.
“Yesss, akhirnya
Soya mengiyakan untuk bertemu denganku nanti malam.” Teriaknya.
Rey kemudian
menghempaskan tubuhnya ke atas kasurku, mengatakan padaku untuk membangunkannya
setengah enam sore tepat dan berpesan jangan menggangu tidurnya. Kembali
kuanggukkan kepalaku demi kebahagiaan abangku.
Abang hanya
tidur sebentar, itu juga gelisah. Berkali-kali dia mengubah posisi atau menarik
napas panjang. Berkai-kali juga dia berguman dalam tidurnya. Kalau tadi ia
berpesan jangan mengganggu tidurnya justru sekarang aku yang justru terganggu,
belum setengah enam akhirnya Rey bangun dengan sendirinya. Mungkin karena dia
sedang gelisah jadi tidak bisa tidur dengan nyenyak.
“Abang
gimana tidurnya?”
“Aduh.
Aku gelisah banget. Jadi mimpi yang gak jelas nih, Ran.”
“Makanya
abang jangan tidur sambil mikir.” Kataku.
“Iya,
kali ya?” Rey turun dari tempat tidurku. Dan beranjak ke kamar mandi.
Selesai
mandi, dilanjutkan dengan dandan. Aku memperhatikan abang sambil sesekali
geleng-geleng kepala dan menahan senyum geli. Baru kali ini aku melihat abang
keluar rumah dengan menyisir rambutnya dan menyetrika baju terlebih dahulu.
Paling-paling rambut pendeknya hanya dirapikan dengan menggunakan tangannya.
Setelah dia
merasa bahwa rambutnya sudah oke, bajuu oke, sepatu juga oke, berikutnya adalah
parfum. Rey menyemprotkan parfum kesayangannya dan seketikaaroma wangi tercium
sampai ke kamarku ketika dia berjalan melewati kamarku.
Aku tersenyum
geli ketika abangku berjalan menuruni tangga dengan perasaan senang dan
sedikit-sedikit tersenyum seperti orang gila di pinggir jalan.
Dia mengambil
mobil dari garasi, kali ini dia tidak memakai motor entahlah jarang sekali dia
memakai mobil hanya sesekali jika memang ada perlu. Sampai di luar pagar rumah,
kemnali dia masuk rumah dan berteriak kepadaku “Raniiii.... ambilin baket bunga
yang abang beli tadi siang di kamar. Abang lupa membawanya.” aku terkaget dan
segera aku menuju kamarnya dan mengambilkan bunga untuknya. “Terimakasih
adikku,” sambil mengelus kepalaku. Sebagai seorang adik aku hanya bisa pasrah
ketika harus disuruh-suruh Rey abangku.
Sepanjang jalan
bisa dibilang Rey nyaris tidak mengeluarkan suara. Ia sibuk memandangi baket
bunga yang dia letakkan di kursi samping kemudi. Keringatnya mengucur deras.
Mobil yang Rey bawa berhenti menepi di seberang jalan rumah Soya, karena harus
memutar lebih jauh jika harus berhenti tepat di depan rumah Soya.
“Soya, aku sudah
di seberang berada di seberang rumahmu.” Kata Rey di dalam telepon.
Soya
segera menjawab dari dalam telepon, “Iya kak, kau akan segera keluar rumah.”
Bisa dirasakan
bahwa Rey gugup ketika akan bertemu dengan Soya. Kecemasan. Ketakutannya.
Seluruhnya memuncak pada hari ini. Rey memutar musik kesukaannya, Sembari
menunggu Soya di dalam mobil yang diparkir din seberang jalan. Tapi betapa
bodohnya kenapa Rey hanya menunggu Soya.
Soya kemudian
bilang kepada kedua orang tuannya, bahwa dia akan bertemu dengan Rey di depan
rumah. Soya kemudian keluar dari rumahnya, dengan perasaan senang dan tak bisa
dilukisakan, ternyata Soya juga sudah menunggu hari ini tiba, semua rasa yang
lama disimpan oleh Soya. Tetapi rasa itu telah benar-benar menghilangkan
konsentrasi Soya terhadap apapun di sekeliling Soya.
Jalan di sekitar
rumah Soya malam itupun lengang. Dengan santainya Soya berjalan keluar rumah,
menutup pagar dan berjalan menyeberang jalan. Begitu pula dengan pengemudi
mobil sedan yang memanfaatkan kelengangan jalanan sekitar rumah Soya. Dengan
santainya berjalan tanpa melihat kanan-kiri bahkan Soya tidak memperdulikan “sesuatu”
bergerak semakin cepat.
Rem berdecit
dengan kerasnya sampai memekikkan telinga, semua orang bahkan yang di dalam
rumah pun bisa mendengar decitan suara rem mobil itu, dan segera berhamburan
keluar rumah. Semua bisa mendengar kerasnya bunyi hantaman. Hanya beberapa
hitungan detik. Tidak ada yang bisa dilakukan termasuk Rey, yang segera berlari
keluar dari mobilnya tanpa sempat mengambil baket bunga yang telah disipkan
sebelumnya. Orang-orang hanya sempat tersentak. Terkesima. Menatap dengan mata
terbelalak dan mulut ternganga.
Tubuh mungil
itupun rebah. Tanpa sempat mengeluarkan sepatah kata apapun. Darah mengalir
derasnya. Baju putih yang dipakai Soya memerah karena berlumuran darah. Rey
berlari kesetanan dan segera memeluk Soya. Rey duduk bersimpuh di tengah jalan,
dengan Soya di dalam pelukan. Sepasang mata yang menatapnya dengan kecemasan
namun begitu hidup dan menyala semangat serta membawa sebuah harapan besar,
kini telah redup. Bahkan telah mati, karena maut.